Ilustrasi simbolis tentang wahyu dan penegasan janji Allah.
Surah At Taubah (Surah Kesembilan) adalah surah Madaniyah yang kaya akan ajaran penting mengenai jihad, perjanjian, dan sikap seorang mukmin sejati dalam menghadapi berbagai situasi, terutama pasca-Fathul Makkah. Fokus kita kali ini adalah pada tiga ayat terakhir dari rangkaian bahasan penting mengenai kaum munafik, yaitu ayat 75, 76, dan 77.
Ayat-ayat ini memberikan gambaran tegas mengenai konsekuensi dari kemunafikan dan pentingnya ketulusan dalam beriman, terutama ketika menghadapi kesulitan finansial atau kondisi yang menuntut pengorbanan.
وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ ٱللَّهَ لَئِنْ ءَاتَىٰنَا مِن فَضْلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ
(75) Dan di antara mereka ada orang yang telah membuat perjanjian dengan Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan beriman dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh."
فَلَمَّا ءَاتَىٰهُم مِّن فَضْلِهِۦ بَخِلُوا۟ بِهِۦ وَتَوَلَّوا۟ وَّهُم مُّعْرِضُونَ
(76) Maka tatkala Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir terhadap karunia itu dan mereka berpaling (dari iman), sedang mereka berpaling.
فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِى قُلُوبِهِمْ إِلَىٰ يَوْمِ يَلْقَوْنَهُۥ بِمَآ أَخْلَفُوا۟ ٱللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا۟ يَكْذِبُونَ
(77) Lalu Allah menimpakan kemunafikan di dalam hati mereka sampai kepada hari mereka menemui-Nya, disebabkan karena mereka telah menyalahi apa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan juga karena mereka selalu berdusta.
Ayat 75 memperkenalkan kelompok yang cenderung munafik. Mereka mengucapkan janji-janji muluk kepada Allah SWT ketika berada dalam posisi sulit atau ketika Allah belum memberikan kemudahan materi. Janji mereka adalah kesempurnaan iman—"pastilah kami akan beriman dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh"—jika saja rezeki melimpah dari karunia Allah. Ini adalah tipikal orang yang mengaitkan ibadah dan keimanan mereka dengan kondisi finansial atau keuntungan duniawi.
Dalam konteks turunnya ayat ini, beberapa riwayat menyebutkan bahwa ini ditujukan kepada sebagian orang yang enggan ikut dalam Perang Tabuk karena alasan kesibukan duniawi, namun di mulut mereka terucap janji akan ketaatan total jika Allah memudahkan urusan mereka.
Realisasi dari janji palsu itu terungkap pada ayat 76. Ketika Allah benar-benar menguji mereka dengan memberikan karunia—kemudahan, kekayaan, atau kesempatan untuk tidak berkorban—maka sifat asli mereka muncul. Alih-alih menepati janji ketaatan, mereka justru menjadi kikir (*bakhil*). Kekikiran ini bukan hanya dalam hal harta, tetapi juga kekikiran dalam pengorbanan jiwa dan waktu demi agama.
Ironisnya, di saat rezeki datang, mereka berpaling dari komitmen awal mereka, malah sibuk mempertahankan apa yang dimiliki tanpa peduli pada janji yang telah diikrarkan kepada Sang Pencipta. Sikap berpaling ini menunjukkan bahwa motivasi awal mereka bukanlah mencari keridhaan Allah, melainkan mencari keuntungan dunia yang kemudian mereka jadikan alasan untuk meninggalkan kewajiban.
Ayat 77 adalah penutup yang sangat keras dan menjadi peringatan serius. Karena pengkhianatan berulang dan kekikiran yang mendominasi setelah janji palsu, Allah membalas mereka dengan menimpakan nifaq (kemunafikan) di dalam hati mereka. Ini adalah hukuman yang paling berat karena nifaq merusak fondasi spiritual seseorang.
Nifaq tersebut akan terus tertanam hingga hari mereka bertemu dengan Allah (Hari Kiamat). Mengapa demikian? Karena mereka telah melanggar dua hal fundamental: pertama, menyalahi janji yang mereka ikrarkan kepada Allah (*ma wa'aduhu*); dan kedua, kebiasaan mereka yang selalu berdusta (*kaanuu yakdzibuun*).
Dapat disimpulkan bahwa ayat 75-77 mengajarkan bahwa keimanan sejati akan teruji ketika kemudahan duniawi diberikan. Janji ibadah yang diucapkan saat kesulitan harus dibuktikan saat kelapangan. Kegagalan membuktikan janji tersebut, yang didasari oleh kekikiran dan kebohongan, akan berujung pada rusaknya hati dengan nifaq yang dampaknya abadi hingga akhirat.