Ayat 129 dari Surah At-Taubah ini merupakan penutup dari keseluruhan surah, yang dikenal juga sebagai penutup komprehensif ajaran Islam setelah seruan keras kepada kaum musyrikin dan kaum munafik. Ayat ini memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa, berfungsi sebagai tameng sekaligus penegasan prinsip dasar keimanan seorang Muslim.
Frasa pembuka, "Fa tawallaw" (Maka jika mereka berpaling), mengacu pada situasi di mana ajakan kepada kebenaran ditolak. Dalam konteks turunnya ayat ini, penolakan tersebut datang dari pihak-pihak yang enggan beriman atau yang menunjukkan kemunafikan. Ketika ajakan persuasif gagal, seorang Nabi—dan secara implisit, setiap Muslim—diperintahkan untuk beralih fokus, yaitu kepada Allah SWT.
Pusat Tawakal: Cukuplah Allah
Inti dari ayat ini terletak pada pernyataan tegas: "Hasbiyallahu" (Cukuplah Allah bagiku). Ini bukan sekadar ungkapan pasrah, melainkan deklarasi keyakinan penuh bahwa segala kebutuhan, pertolongan, dan perlindungan hanya bersumber dari satu-satunya zat yang Maha Kuasa. Ketika manusia dihadapkan pada tantangan besar—baik itu permusuhan, kesulitan hidup, atau ketidakpastian—maka sumber daya terbesar yang dimiliki seorang mukmin adalah kesadaran bahwa Allah sudah cukup untuk segala urusan.
Penegasan tauhid dilanjutkan dengan kalimat: "Laa ilaaha illaa Huwa" (Tidak ada Tuhan selain Dia). Ini meneguhkan kembali fondasi Islam, bahwa penyembahan hanya ditujukan kepada Allah semata, memutus segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya, termasuk ilusi kekuatan duniawi.
Tawakal Tingkat Tinggi
Setelah menegaskan keesaan-Nya, perintah berikutnya adalah implementasi praktis dari keimanan tersebut: "'Alaihi tawakkaltu" (Hanya kepada-Nya aku bertawakal). Tawakal (berserah diri) dalam Islam tidak berarti diam pasif. Ia adalah puncak dari usaha maksimal yang diikuti dengan penyerahan hasil akhir sepenuhnya kepada kehendak dan rencana Allah. Seorang Muslim berusaha sekuat tenaga, kemudian menempatkan hasilnya dalam genggaman Allah. Inilah bentuk tawakal yang dicintai-Nya.
Puncak ayat ini menyoroti keagungan Allah sebagai Rabb pemelihara alam semesta: "Wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Adzim" (Dan Dia adalah Tuhan pemelihara 'Arsy yang Agung). Penyebutan 'Arsy yang Agung (singgasana besar) berfungsi sebagai metafora untuk menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya yang meliputi seluruh ciptaan. Jika Dia adalah penguasa singgasana terbesar, maka masalah sekecil apa pun yang dihadapi manusia pasti berada dalam kendali-Nya.
Signifikansi dalam Kehidupan Sehari-hari
Membaca dan merenungkan At Taubah ayat 129 latin ini memberikan beberapa manfaat krusial bagi kehidupan seorang Muslim modern. Pertama, ia berfungsi sebagai penawar kegelisahan. Di tengah badai informasi, tekanan sosial, atau ketidakadilan, pengulangan kalimat ini mengembalikan fokus pada sumber daya ilahi yang tak terbatas.
Kedua, ayat ini adalah pengingat akan integritas spiritual. Ketika orang lain memilih jalan pintas atau berpaling dari prinsip demi keuntungan duniawi, Muslim diperintahkan untuk tetap teguh pada prinsip tauhid dan bertawakal kepada Sang Pencipta. Hal ini membangun ketenangan batin yang tidak bisa dibeli oleh kekayaan materi mana pun.
Ketiga, ayat ini mendorong keberanian. Keberanian untuk mengatakan yang benar, meskipun dihadapkan pada penolakan atau ancaman, lahir dari kesadaran bahwa satu-satunya pelindung adalah Allah. Keberanian ini bukan keberanian buta, melainkan keberanian yang didasari oleh penyerahan diri total kepada Tuhan yang Maha Agung.
Oleh karena itu, Surah At-Taubah ditutup dengan kalimat yang sangat menghibur dan menguatkan, sebuah doa sekaligus afirmasi bagi setiap mukmin yang merasa sendirian dalam memperjuangkan kebenaran: Cukuplah Allah, dan Dia adalah Pemilik Agung segala keagungan.